Selasa, 24 Maret 2009


Filsafat Pendidikan Dan Peningkatan Sumber Daya Manusia
Di tulis saiful ady fkm
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Suatu usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan tanpa menggunakan kearifan (wisdom) dan kekuatan filsafat ibarat sesuatu yang sudah ditakdirkan untuk gagal. Persoalan pendidikan adalah persoalan filsafat. Pendidikan dan filsafat tidak terpisahkan karena akhir dari pendidikan adalah akhir dari filsafat, yaitu kearifan (wisdom). Dan alat dari filsafat adalah alat dari pendidikan, yaitu pencarian (inquiry), yang akan mengantar seseorang pada kearifan.
Filsafat pendidikan memang suatu disiplin yang bisa dibedakan tetapi tidak terpisah baik dari filsafat maupun juga pendidikan, ia beroleh asupan pemeliharaan dari filsafat. Ia mengambil persoalannya dari pendidikan, sedangkan metodenya dari filsafat. Berfilsafat tentang pendidikan menuntut suatu pemahaman yang tidak hanya tentang pendidikan dan persoalan-persoalannya, tetapi juga tentang filsafat itu sendiri. Filsafat pendidikan tidak lebih dan tidak kurang dari suatu disiplin unik sebagaimana halnya filsafat sains atau sains yang disebut mikrobiologi.
Filsafat secara ringkas berkenaan dengan pertanyaan seputar analisis konsep dan dasar-dasar pengetahuan, kepercayaan, tindakan, dan kegiatan. Jadi dalam filsafat terkandung pengertian dua hal, yaitu (1) analisis konsep, dan (2) pendalaman makna atau dasar dari pengetahuan dan sejenisnya. Dengan menganalisis suatu konsep, hakikat makna suatu kata dieksplorasi baik secara tekstual dengan padanannya maupun juga secara kontekstual dalam penggunaannya. Sehingga akan terkuak dimensi-dimensi moral yang khas dalam pemakaiannya, yang membedakannya dari kata yang lainnya. Jadi, memasukkan makna suatu kata sebagai konsep yang khas dalam kesadaran sehingga memiliki asumís-asumsi moral guna membantunya lebih cermat dalam fungsionalisasinya.
Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak saja dengan konsep-konsep lainnya tetapi juga dengan bentuk-bentuk kehidupan sosial yang berada pada jaringan asumsi-asumsi yang saling bertautan seperti tanggung jawab manusia, hak-hak yang terkait dengan kewenangan, dan peran penderitaan dalam kehidupan kita. Hal tersebut akan mengantar kita pada pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan sosial kita. (2) dengan memahami struktur konseptual tertentu, akan memungkinkan kita untuk bisa mencermati asumsi-asumsi moral terkait isu yang ada. Diskusi tentang ini akan mengantar kita lebih jauh pada filsafat moral.
BAB II
PEMBAHASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PENINGKATAN SDM
A. FILSAFAT PENDIDIKAN
Terdapat tiga persoalan umum yang disebut filsafat.
(1) Metafisika (Metaphysics)
Istilah lebih generik adalah “ontology” yang berkenaan dengan hakikat realitas (what is), sedangkan metafisika berkenaan dengan hakikat eksistensi (what it means “to be”). Pada konteks ini keduanya dipakai saling menggantikan (interchangeably).

Metafisika bisa diartikan sebagai the theory of reality. Suatu upaya filosofis untuk memahami karakteristik mendasar atau esensial dari alam semesta dalam suatu simpul yang sederhana namun serba mencakup.
Secara sederhana, metafisikawan berusaha menjelaskan rangkuman dan intisari dari apa (of what is), apa yang ada (of what exists), dan apa yang sejati ada (of what is ultimately real). Intisari atau substansi realitas ini secara kualitatif maupun kuantitatif bisa jadi satu atau banyak. Mereka yang beraliran kuantitatif (yakni hakikat sebagai rangkuman realitas atau as the sum of reality) terbagi kedalam tiga posisi pandang: (1) monisme, (2) dualisme, dan (3) pluralisme. Sedangkan yang beraliran kualitatif (yakni hakikat sebagai intisari dari realitas atau as the substance of reality) terbagi kedalam 4 posisi pandang: (1) idealisme, bahwa hakikat realitas bersifat mental atau spiritual; (2) realisme, bahwa hakikat realitas bersifat material atau fisis. Dua aliran tersebut termasuk kategori monisme. (3) Thomisme yang mengkombinasikan dua corak aliran monisme sebelumnya. (4) Pragmatisme, yang menolak untuk mengkuantifikasi atau mengkualifikasikan realitas. Mereka lebih suka mengatakan bahwa realitas senantiasa berada pada keadaan berubah dan mencipta secara konstan sekalipun secara literal bisa dinyatakan ada ketidakterbatasan filosofis baik jenis maupun jumlahnya.


(2) Aksiologi (Axiology)
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar, sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi (kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological tragicomedy.
(3) Epistemologi (Epistemology)
Disebut the theory of knowledge atau teori pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai mengetahuinya (the process). Para epistemolog adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting, bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?). Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab: ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) – selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria: certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism. Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas” yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai selalu saja akan bersifat tentatif.
Para filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia, kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya. Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep pendidikan:
(1) Pendidikan sebagai manifestasi (education as manifestation).
Dengan analogi pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi) pada diri setiap anak.
(2) Pendidikan sebagai akuisisi (education as acquisition)
Dengan analogi spon, pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
(3) Pendidikan sebagai transaksi (education as transaction)
Dengan analogi orang Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya. Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia dengan lingkungannya. Di sana seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana pula di sana dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi manusia dan lingkungannya.
Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
(1) Filsafat sebagi proses (philosophy as process)
Filsafat sebagai aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah menjadi utuh.
Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan intelektual.
(2) Filsafat sebagai produk (philosophy as product)
Produk dari aktivitas berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide, konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut. Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama, Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan akhir, dan juga rencana final.

B. SUMBER DAYA MANUSIA
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka menjadi khalifah dimuka bumi, hal ini banyak dicantumkan dalam al-Qur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang dimilikinya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta melestarikannya. Untuk mencapai derajat khalifah di buka bumi ini diperlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut ditandai dengan pendidikan yang dimulai sejak buaian sampai ke liang lahat.
Di atas telah disinggung bahwa pendidikan Islam memadukan dua segi kepentingan manusia yaitu keduniaan dan keagamaan. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya meninjau pada satu aspek saja, yaitu keduniaan saja dan segala bentuk keberhasilan cenderung dinyatakan dengan jumlah materi yuang dimiliki atau jabatan serta pengaruh di tempat individu berada. Akibatnya telah dapat dilihat bahwa kehampaan yang terjadi pada masyarakat Eropah dan Amerika adalah kehampaan spiritual yang sebagai tempat pelariannya ke tempat-tempat hiburan, alcoholism dan bentuk lainnya. Dengan demikian kemajuan pada satu aspek saja dalam kehidupan ini menyebabkan ketimpangan dalam perjalanan hidup manusia yang kemudian akan kembali menjadi permasalahan kemanusiaan khususnya sumber daya manusia.
Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber daya manusia (SDM) adalah daya yang bersumber dari manusia, yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Sumber daya manusia mempunyai dua ciri, yaitu : (1) Ciri-ciri pribadi berupa pengetahuan, perasaan dan keterampilan (2) Ciri-ciri interpersonal yaitu hubungan antar manusia dengan lingkungannya. Sementara Emil Salim menyatakan bahwa yang dimaksud dengan SDM adalah kekuatan daya pikir atau daya cipta manusia yang tersimpan dan tidak dapat diketahui dengan pasti kapasitasnya. Beliau juga menambahkan bahwa SDM dapat diartikan sebagai nilai dari perilaku seseorang dalam mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian kualitas SDM ditentukan oleh sikap mental manusia (Djaafar, 2001 : 2).
T. Zahara Djaafar (2001 : 1) menyatakan bahwa bila kualitas SDM tinggi, yaitu menguasai ilmu dan teknologi dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya dan merasa bahwa manusia mempunyai hubungan fungsional dengan sistem sosial, nampaknya pembangunan dapat terlaksana dengan baik seperti yang telah negara-negara maju, dalam pembangunan bangsa dan telah berorientasi ke masa depan. Tidak jarang di antara negara-negara maju yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan bangsanya adalah bangsa yang pada mulanya miskin namun memiliki SDM yang berkualitas.
Dalam Islam sosok manusia terdiri dua potensi yang harus dibangun, yaitu lahiriah sebagai tubuh itu sendiri dan ruhaniyah sebagai pengendali tubuh. Pembangunan manusia dalam Islam tentunya harus memperhatikan kedua potensi ini. Jika dilihat dari tujuan pembangunan manusia Indonesia yaitu menjadikan manusia seutuhnya, maka tujuan tersebut harus memperhatikan kedua potensi yang ada pada manusia. Namun upaya kearah penyeimbangan pembangunan kedua potensi tersebut selama 32 tahun masa orde baru hanya dalam bentuk konsep saja tanpa upaya aplikasi yang sebenarnya. Telah dimaklumi bahwa pendidikan Islam memandang tinggi masalah SDM ini khususnya yang berkaitan dengan akhlak (sikap, pribadi, etika dan moral).
Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar, 2001 : 2). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan ruhaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan oleh ruhaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri manusia. Untuk mencapai SDM berkualitas, usaha yang paling utama sebenarnya adalah memperbaiki potensi dari dalam manusia itu sendiri, hal ini dapat diambil contoh seperti kepatuhan masyarakat terhadap hukum ditentukan oleh aspek ruhaniyah ini. Dalam hal ini pendidikan Islam memiliki peran utama untuk mewujudkannya.
Tantangan manusia pada millennium ke-3 ini akan terfokus pada berbagai aspek kompleks. Khusus dibidang pendidikan Aly dan Munzier (2001 : 227) menyebutkan bahwa tantangan pendidikan Islam terbagi atas 2, yaitu tantangan dari luar, yaitu berupa pertentangan dengan kebudayaan Barat abad ke-20 dan dari dalam Islam itu sendiri, berupa kejumudan produktivitas keislaman.

Abdul Rachman Shaleh (2000 : 203) menyatakan bahwa untuk menjawab tantangan dan menghadapi tuntutan pembangunan pada era globalisasi diisyaratkan dan diperlukan kesiapan dan lahirnya masyarakat modern Indonesia. Aspek yang spektakuler dalam masyarakat modern adalah penggantian teknik produksi dari cara tradisional ke cara modern yang ditampung dalam pengertian revolusi industri. Secara keliru sering dikira bahwa modernisasi hanyalah aspek industri dan teknologi saja. Padahal secara umum dapat dikatakan bahwa modernisasi masyarakat adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktivitas dan semua aspek hidup masyarakat.
Dalam upaya pembangunan masyarakat, tidak ada suatu masyarakat yang bisa ditiru begitu saja, tanpa nilai atau bebas nilai. Hal ini telah terlihat dengan peniruan dan pengambilan pola kehidupan sosialis, materialistis yang ditiru masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu pembangunan di bidang agama. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan bahwa pembangunan di bidang agama diarahkan agar semakin tertata kehidupan beragama yang harmonis, semarak dan mendalam, serta ditujukan pada peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan YME, teciptanya kemantapan kerukunan beragama, bermasyarakat dan berkualitas dlam meningkatkan kesadaran dan peran serta akan tanggung jawab terhadap perkembangan akhlak serta untuk secara bersama-sama memperkukuh kesadaran spiritual, moral dan etik bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, peningkatan pelayanan, sarana dan prasarana kehidupan beragama.
Masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang sedang berubah dan terkadang perubahan tersebut sangat mendasar dan mengejutkan. Masyarakat yang sedang dibangun berarti masyarakat terbuka, yang memberi peluang untuk masuknya modal, ilmu dan teknologi serta nilai dan moral asing yang terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Untuk itu peran agama diharapkan dapat berfungsi sebagai pengarah dan pengamanan pembangunan nasional. Dalam masyarakat yang sedang berubah ini terdapat objek paling rawan yaitu generasi muda, untuk itu prioritas perhatian pada generasi muda ini perlu ditingkatkan demi keberhasilan pembangunan.
Peningkatan kualitas manusia hanya dapat dilakukan dengan perbaikan pendidikan. A. R. Saleh (2000 : 205) menyatakan ada beberapa ciri masyarakat atau manusia yang berkualitas, yaitu :
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia dan berkepribadian
2. Berdisiplin, bekerja keras, tangguh dan bertanggung jawab
3. Mandiri, cerdas dan terampil
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Cinta tanah air, tebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial
Generasi yang berkualitas yang akan disiapkan untuk menyongsong dan menjadi pelaku pembangunan pada era globalisasi dituntut untuk meningkatkan kualitas keberagamaannya (dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan agamayang tetap bertumpu pada iman dan aqidah). Dengan kata lain masyarakat maju Indonesia menuntut kemajuan kualitas hasil pendidikan Islam. A. R. Saleh menyatakan bahwa modernisasi bagi bangsa Indonesia adalah penerapan ilmu pengetahuan dalam aktivitas pendidikan Islam secara sistematis dan berlanjut. Tujuan pendidikan nasional termasuk tujuan pendidikan agama adalah mendidik anak untuk menjadi anak manusia berkualitas dalam ukuran dunia dan akhirat.
Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang berkualitas, ditetapkan langkah-langkah dalam pembinaan pendidikan agama yaitu :
1. Meningkatkan dan menyelaraskan pembinaan perguruan agama dengan perguruan umum dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sehingga perguruan agama berperan aktif bagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2. Pendidikan agama pada perguruan umum dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi akan lebih dimantapkan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME serta pendidikan agama berperan aktif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Pendidikan tinggi agama serta lembaga yang menghasilkan tenaga ilmuan dan ahli dibidang agama akan lebih dikembangkan agar lebih berperan dalam pengembangan pikiran-pikiran ilmiah dalam rangka memahami dan menghayati serta mampu menterjemahkan ajaran-ajaran agama sesuai dan selaras dengan kehidupan masyarakat (A. R. Saleh, 2000 : 206).

Berdasarkan upaya diatas, maka dapat dilihat bahwa upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama pada 2 jalur, yaitu lembaga pendidikan umum dan keagamaan. Sejalan dengan upaya peningkatan SDM ini H. A. R. Tilaar (1999 : 200-204) dalam memandang tuntutan SDM yang kompetitif di abad 21 sesuai tantangan atau tuntutan masyarakat dalam era ilmu pengetahuan, menyatakan bahwa perlunya :
1. Reformulsi IAIN sebagai Institusi Pendidikan Tinggi Islam, hal ini dilihat dari relevansinya terhadap tuntutan ilmu pengetahuan dan pembangunan nasional masih bersifat sektoral dan visinya yang terbatas
2. Nilai Agama Sebagai Faktor Integratif, telah terlihat efek pemisahan agama dan sains-teknologi, nilai agama hendaknya dijadikan faktor integratif di dalam mengembangkan fakultas-fakultas ilmu murni bila transformasi IAIN menjadi Universitas Islam dapat diwujudkan.
3. Peninjauan Eksistensi Fakultas Tarbiyah dalam IAIN dan menyarankan agar ditransformasikan menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Dalam menciptakan SDM yang bermutu sesuai tantangan globalisasi saat ini Pendidikan Islam memainkan peranan penting dalam pembinaan SDM khususnya kepribadian, sikap dan mental manusia berlandaskan agama selain potensi intelektualitasnya.
b. Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang dibangun atas prinsip-prinsip pokok, berupa penciptaan yang bertujuan, kesatuan yang menyeluruh dan keseimbangan yang kokoh. Pendidikan Islam memandang perlunya aspek dunia dan akhirat, ilmu dan amal atau teori dan praktek.
c. Pendidikan Islam berperan dalam memecahkan permasalahan SDM jika didukung perguruan tinggi Islam yang mampu menyahuti aspirasi tamatan institusi pendidikan Islam di tingkat bawah, selanjutnya mempersiapkan SDM untuk diterjunkan kembali pada masyarakat.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diambil, dalam makalah ini disarankan hal-hal berikut :
a. Pendidikan Islam sebaiknya memainkan peran sejak awal dan tingkat dasar dalam upaya peningkatan SDM, baik jasmaniah dan rohaniah.
b. Pendidikan tinggi Islam agar secepatnya melakukan terobosan baru demi menyikapi hal-hal yang berkembang cepat demi menghasilkan SDM yang berkualitas dalam aspek keduniaan dan keakhiratan.



Daftar Pustaka
Aly, H. N. dan Munzier, H. (2000). Watak Pendidikan Islam. Jakarta : Friska Agung Insani.
Azra, Azyumardi. (2001). Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta : Kalimah.
Hasan, Chalijah. (1994). Dimensi-dimensi Psikologi Pendidikan. Surabaya : Al Ikhlas.
Prasetya. (2000). Filsafat Pendidikan : Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia.
Shaleh, A. R. (2000). Pendidikan Agama dan Keagamaan : Visi, Misi dan Aksi. Jakarta : Gemawindu Pancaperkasa.
Tilaar, H. A. R. (1999). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21. Magelang : Tera Indonesia.